Ibu Pengganti
Namaku Kirana, 17 tahun. Introvert.
Jika kalian belum mengetahui apa itu introvert, Aku akan memberitahumu, tetapi tidak banyak. Introvert adalah sifatku; pendiam, tidak terlalu suka bepergian, menyukai ketenangan, sulit berkomunikasi dengan orang lain. Yah, kurang lebih begitu.
Aku menyukai kamarku. Tempat di mana aku bisa intim dengan laptopku. Aku bisa melakukan segala yang Aku suka. Membaca novel, menggambar, atau hanya sekedar menulis diary.
Hari ini hari yang cerah. Terlalu sayang untuk dilewatkan jika hanya dihabiskan di dalam kamar. Begitu mungkin kata para extrovert. Tetapi, jadwalku pagi ini adalah memasak bersama Ibu. Mempraktekkan resep yang baru kudapat dari internet, dan seperti biasa, Ibu yang menjadi sasaran utama untuk mengajariku. Sebab beliau sangat pandai memasak, dan kenapa tidak diturunkan keahliannya kepadaku? Ah, sudahlah... Aku akan tetap mencobanya meskipun Tuhan tidak menurunkan bakat Ibu kepadaku sekalipun.
"Ibu, ayo kita mulai!" Kataku semangat, sambil melambai-lambaikan secarik kertas di udara berisi resep masakan yang sudah Aku cetak semalam.
"Apalagi kali ini?" Ibu mengangkat sebelah alisnya dengan kedua tangan bertolak pinggang.
"Kali ini... Ayam rica-rica!" Aku merentangkan kertas berisi resep di atas meja makan seperti bajak laut yang membuka petanya untuk mengatur strategi berlayar.
"Baiklah... Ibu pernah memasak ini sebelumnya, tetapi sudah agak lama. Mari bantu Ibu mengingatnya dengan resep ini!" Ibu menggenggam tanganku semangat menarikku ke arah dapur untuk memulai eksperimen kita.
Ibuku masih sangat muda. Rambutnya kecokelatan terurai panjang. Di usianya yang ke 42 tahun, masih belum ada uban yang berani tumbuh di kulit kepalanya. Aku mewarisi mata cokelat Ibu. Aku tidak ada keturunan blasteran, tetapi Ibu sudah mempunyai mata cokelat yang indah yang dia wariskan kepadaku. Ayahku hari ini tidak ada di rumah, beliau sangat sibuk bekerja sehingga Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ibu setiap harinya.
Selama kurang lebih satu jam kami memasak bersama. Ibu sangat memercayaiku yang bahkan aku pun tidak percaya pada diriku sendiri. Ibu selalu menyuruhku melakukan hal baru. Hal yang belum pernah aku lakukan. Seperti memasak. Setiap Jumat malam, Aku selalu mencari resep baru apa yang akan Aku masak bersama Ibu di keesokan paginya. Dan Ibu selalu membuatku berhasil melakukannya.
Kali ini, Ibu benar-benar mengajariku dari cara membersihkan ayam sampai tahap memberi bumbu. Ternyata membersihkan ayam itu sulit, banyak bagian yang harus kita bersihkan, seperti lemak-lemak yang menempel pada dagingnya. Dan pada bagian-bagian tertentu juga harus ada bagian yang dibuang. Dalam kerongkongan ayam pun ternyata ada bagian yang harus dibersihkan. Ku kira hanya sebatas dipotong-potong saja daging-daging ayam itu.
Saat masakan kami telah jadi, Ibu selalu memberi sebagian masakan untuk tetangga sebelah rumah kami, seorang Kakek tua yang hidup bersama cucu satu-satunya. Anak dari Kakek tersebut meninggal dunia bersama istrinya ketika cucunya berusia 3 bulan. Dan istrinya meninggalkan beliau selamanya kurang lebih satu tahun silam.
"Na, tolong antarkan ke tempat Kakek Seto, ya. Kiko pasti menyukai masakan kita." Ibu memberikanku semangkuk penuh berisi ayam rica-rica hasil olahan kami.
"Baik, Bu. Aku boleh main sebentar dengan Kiko?" Aku menerima semangkuk ayam rica-rica dari Ibu sambil memasang wajah jenaka seperti yang sering dilakukan Kiko ketika memintaku membacakan sebuah buku cerita.
"Tentu saja! Jangan lupa ajak dia membeli es krim!" Ibu bersemangat menjawab permintaanku.
Aku berjalan ke luar, ku tutup pintu rumah. Suasana saat itu terlihat mendung. Padahal ini baru jam 10, dan satu jam yang lalu cuaca masih cerah. Aku bergegas ke rumah sebelah sebelum tetesan gerimis datang mengisi mangkuk ayam rica-rica yang masih panas.
Setiba di depan rumah Kakek Seto, kuketuk pintu rumahnya. Tidak ada jawaban. Kuketuk lagi beberapa kali. Hening. Aku memandangi sekeliling halaman rumahnya. Terlihat sepeda Kiko, agak berdebu. Burung kenari peliharaan Kakek bersiul menyambutku seperti biasa. Ku amati sekeliling pekarangan rumah ini dengan seksama. Ada yang aneh, ada sepasang sandal yang belum pernah kulihat sebelumnya, dan itu sepasang sandal wanita.
Setiba di depan rumah Kakek Seto, kuketuk pintu rumahnya. Tidak ada jawaban. Kuketuk lagi beberapa kali. Hening. Aku memandangi sekeliling halaman rumahnya. Terlihat sepeda Kiko, agak berdebu. Burung kenari peliharaan Kakek bersiul menyambutku seperti biasa. Ku amati sekeliling pekarangan rumah ini dengan seksama. Ada yang aneh, ada sepasang sandal yang belum pernah kulihat sebelumnya, dan itu sepasang sandal wanita.
"Kak Kirana!" Tiba-tiba ada yang memeluk pinggangku yang membuatku harus menoleh ke bawah.
"Kamu... Kakak kira tidak ada orang di rumah." Aku mengelus rambutnya yang selalu harum untuk seukuran anak TK.
"Ayo masuk! Ada tante Sarah."
"Tante Sarah?" Tanyaku dalam hati. Setahuku almarhum kedua orangtua Kiko tidak memiliki saudara. Begitu yang pernah diceritakan Kakek Seto.
Aku melewati sebuah ruang tamu dengan gaya khas tradisional Jawa. Sebuah gunungan wayang tak bisa melepaskan pandanganku tiap kali aku melewati ruangan ini. Besar, tepat berada di tengah-tengah dinding ruang tamu yang didominasi warna cokelat - emas. Kiko menuntunku dengan menarik rokku sampai ke ruang santai yang berada di lantai dua.
"Hai... Siapa gadis cantik ini?" Tanya seorang wanita yang terlihat seumuran Ibu. Aku belum pernah menemuinya sebelumnya, namun wajahnya terlihat sangat bersahabat.
"Selamat pagi, Tante. Saya Kirana, tetangga sebelah Kakek Seto." Aku menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan wanita berbalut kain Jawa mencolok yang Ia kenakan sebagai syal.
"Kali ini, apa yang kamu bawa, Nak?" Pertanyaan yang selalu Kakek Seto lontarkan setiap kali aku membawa makanan di hari Sabtu pagi. Wajahnya terlihat resah tetapi berusaha tetap tersenyum seperti biasanya.
"Ayam rica-rica, Kek." Jawabku sambil meletakkan semangkuk penuh ayan rica-rica di atas meja makan yang jaraknya dua meter dari ruang santai.
Kemudian Kiko menarik tanganku dan mengajakku duduk bergabung bersama Kakek dan Tante Sarah. Aku masih mengamati wanita yang baru kulihat ini dengan seksama. Wanita ini begitu cantik. Terlihat begitu antusias menceritakan latar belakang kehidupannya kepada Kakek. Dari cerita yang aku tangkap, sepertinya Kakek belum pernah mengenal wanita ini sebelumnya, namun tidak dengan Kiko. Kiko terlihat sudah sangat akrab dan matanya sangat berbinar jika memerhatikan wanita ini sedang berbicara. Yang membuatku penasaran, apa tujuan sebenarnya wanita ini datang ke sebuah keluarga kecil yang bahkan Kakek Seto pun tidak mengenalinya.
"Jadi, Kek, bagaimana dengan penawaran Saya semalam di telepon. Apa boleh?" Tanya wanita tersebut seraya merangkul Kiko dengan senyumnya bak malaikat.
"Jujur, Saya sangat kaget mendengar permintaan Anda semalam. Dan Saya memikirkan jawabannya semalam suntuk, karena ini sangat berat bagi Saya." Kata-kata Kakek Seto barusan menambah Aku bingung ditambah wajahnya yang terlihat sangat resah sedari Aku datang tadi.
Aku hanya duduk di antara mereka. Diam. Menyimak. Tidak tahu apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan. Aku pura-pura melihat siaran TV yang sedang memutar ulang pertandingan piala dunia Jepang melawan Jerman semalam dengan telinga tetap menyimak pembicaraan mereka.
"Saya tahu Kiko selama ini kesepian..." Lanjut Kakek, memecah keheningan.
"Kiko adalah anak yang tidak mudah bergaul. Dia hanya menyukai orang-orang yang benar-benar dia sukai saja. Tetapi yang Saya lihat sekarang di depan mata Saya sendiri, sepertinya Kiko tulus menyayangi Anda, begitu juga sebaliknya." Kakek tersenyum. Keresahan di wajahnya masih terlihat, namun nada bicaranya tegas dan yakin bahwa apa yang Ia katakan barusan adalah sebuah realita.
"Jadi... Boleh Saya angkat Kiko menjadi anak Saya?"
Pertanyaan itu membuatku menoleh secara tiba-tiba ke arah wanita itu. Jadi, tujuan utama wanita ini datang ke rumah adalah meminta restu kepada Kakek Seto untuk mengangkat Kiko menjadi anaknya. Kemudian wanita itu menceritakan siapa dia sebenarnya kepadaku, yang telah ketahuan sedari tadi penasaran dengannya tetapi tidak berani untuk bertanya lebih dulu.
"Jadi Kirana, Saya adalah teman dekat dari Meriana, pemilik Yayasan Taman Kanak-Kanak Mentari tempat di mana Kiko bersekolah saat ini. Saya sering berkunjung ke TK untuk mengadakan acara-acara. Dan ketika Saya melihat anak ini, Saya seperti melihat sebuah rasa kesepian dalam matanya. Dia tidak bermain bersama teman-temannya yang lain, melainkan hanya menyimak ketika Saya sedang berbicara dalam acara tersebut. Kemudian setelah bagian Saya selesai, Saya duduk di sampingnya dan bertanya, 'mengapa kamu tidak bermain bersama temanmu yang lain?'
"Dan aku menjawab, 'Karena Ibu sedang berbicara, jadi Aku harus mendengarkan. Dan Ibu sangat baik, mau menceritakan dongeng si Kancil kepada kami!'". Kiko memotong pembicaraan Tante Sarah dan Tante Sarah mengelus-elus rambutnya sambil tersenyum.
"Ya, dan sejak itu Saya merasa harus memiliki anak, meski bukan dari rahim Saya sendiri. Saya sudah 17 tahun menikah dan belum dikaruniai anak. Dan ketika melihat anak ini, Saya merasa sangat menyayangi anak ini semenjak pertemuan pertama itu. Sejak saat itu, Saya sering mengobrol dengan Kiko sepulang sekolah ketika Saya sedang berkunjung ke sana, dan bercerita banyak hal. Sampai pada akhirnya dia menceritakan bahwa kedua orangtuanya telah meninggal sedari dia masih kecil. Kemudian Saya mendiskusikan ini dengan suami Saya, dia sangat senang mendengar Saya ingin mengangkat anak. Tetapi sayang sekali dia tidak bisa datang bersama Saya hari ini karena dia harus berangkat ke luar kota mendadak semalam." Tante Sarah bercerita tentang pertemuannya dengan Kiko dan terlihat ketulusan hatinya yang benar-benar ingin menjadikan Kiko sebagai anaknya.
Aku melihat kesedihan di mata Kakek Seto. Selama ini yang membesarkan Kiko adalah beliau dan almarhum istrinya. Kiko adalah harta beliau satu-satunya setelah kepergian anak semata wayangnya, Ayah Kiko, dan istri tercintanya. Aku selalu melihat Kakek mengantar Kiko sekolah dengan wajah riang meski usianya yang sudah memasuki kepala tujuh. Kakek Seto adalah seorang pensiunan PNS. Beliau juga pandai memasak dan mendongeng. Aku belajar mendongeng darinya. Terkadang, Kakek memberiku kesempatan mendongeng ketika beliau sedang pergi mengambil gaji pensiun untuk menjaga Kiko di hari minggu. Kakek Seto pasti merasa sangat kesepian bila Kiko diangkat menjadi anak oleh Tate Sarah. Tapi aku merasakan bahwa Kakek juga ingin Kiko mempunyai Ayah dan Ibu seperti kebanyakan anak-anak yang lain.
"Baiklah, Saya hanya menginginkan yang terbaik untuk kebahagiaan cucu semata wayang Saya. Saya harap Anda dapat menjaga amanah ini dengan sebaik-baiknya." Akhirnya Kakek Seto memutuskan. Beliau tahu, kebahagiaan cucunya adalah yang utama. Kiko harus memiliki masa depan yang indah, dengan adanya kedua orangtua.
"Terima kasih banyak, Pak." Tante Sarah mencium tangan Kakek Seto dan memeluknya dengan tangisan yang sudah ia tahan sedari tadi.
Aku pun ikut menangis menyaksikan kejadian ini. Aku sering sekali medapat pertanyaan dari Kiko, "Kak, bagaimana rasanya mempunyai Ibu? Apa Ayah kakak orang yang baik?" Aku selalu sedih tiap kali mendengar pertanyaan yang hampir setiap minggu ia tanyakan. Aku merasakan kesepian dalam hatinya, yang betapa ia merindukan sosok kedua orangtua. Yang membuatku selalu bersyukur betapa beruntungnya aku masih memiliki orangtua yang lengkap.
"Baiklah, ayo kita bergegas membereskan semua barang-barangmu, Nak." Kata Kakek sambil menyeka air matanya.
Kakek membawaku dan Tante Sarah ke kamar Kiko. Ku lihat foto kedua orangtua Kiko berukuran kecil terbingkai rapih menghiasi sudut kamar. Kamar bercat biru muda ini selalu membuatku tenang setiap kali aku berkunjung ke sini hanya sekedar untuk membacakan Kiko sebuah buku.
Aku membantu mereka untuk mengemasi barang-barang yang akan selamanya dibawa ke tempat tinggal Kiko yang baru. Pakaian-pakaian, sepatu, tas, buku-buku serta barang lainnya Aku masukkan ke dalam kardus bekas mie instan. Ketika aku ingin memasukkan boneka kucing kesayangannya, Kiko melarangku, dia menyuruhku untuk menyimpannya. Membuatku semakin ingin menahan air mata. Sedih rasanya harus berpisah dengan sahabat kecilku. Terlebih sedih lagi, Kakek yang sangat menyayanginya harus pula melepasnya.
Aku membantu mereka untuk mengemasi barang-barang yang akan selamanya dibawa ke tempat tinggal Kiko yang baru. Pakaian-pakaian, sepatu, tas, buku-buku serta barang lainnya Aku masukkan ke dalam kardus bekas mie instan. Ketika aku ingin memasukkan boneka kucing kesayangannya, Kiko melarangku, dia menyuruhku untuk menyimpannya. Membuatku semakin ingin menahan air mata. Sedih rasanya harus berpisah dengan sahabat kecilku. Terlebih sedih lagi, Kakek yang sangat menyayanginya harus pula melepasnya.
Setelah selesai berkemas, Aku dan Kakek mengantar Kiko sampai ke mobil Ford hitam yang dibawa Tante Sarah. Tante Sarah menyuruhku untuk sesekali main ke rumahnya yang berjarak 1 km dari TK tempat Kiko bersekolah. Tante Sarah juga berpesan untuk menjaga Kakek Seto. Aku pun berpelukkan dengan Kiko dan Tante Sarah sebelum mereka pergi. Kakek mencium cucu satu-satunya, sekali lagi memeluknya dan memeluknya dengan sangat erat.
"Kakek, jangan mengkhawatirkan Kiko, ya. Tante Sarah adalah orang yang baik. Kiko sayang Tante Sarah." Bisik Kiko dalam pelukan hangat Kakek.
"Iya, Nak. Kamu jangan nakal, ya" Pesan Kakek seraya mengantar Kiko ke dalam mobil.
Hujan tak jadi turun. Langit kembali cerah. Langit seakan tahu bahwa hujan tak boleh turun hari ini, karena hari ini harus menjadi hari yang sangat cerah. Aku meraskan hembusan angin hangat membelai tubuh dan rambutku. Aku dan Kakek Seto melambaikan tangan kepada Kiko dan Tante Sarah, mengantar mereka sampai mobil Ford Hitam hilang dari pandangan kami di kejauhan. Kemudian suasana menjadi sepi. Kakek mengucapkan terima kasih atas makanan yang telah Ibu berikan dan berterima kasih telah membantu mengemasi barang-barang Kiko. Aku pun pamit pulang. Aku melihat di mata Kakek bahwa beliau butuh waktu untuk sendiri hari ini. Megenang kenangannya bersama anak dan cucunya di rumah sederhana ini.
"Ibu!" Aku pulang dan langsung memeluk Ibu dengan sangat erat seakan Ibu akan pergi jauh.
"Hei... Kenapa kok tiba-tiba peluk Ibu?"
"Kirana sayang sekali sama Ibu!"
Bekasi, 28 Agustus 2018 || Diana W.
Bekasi, 28 Agustus 2018 || Diana W.
Comments
Post a Comment